Malam ini mendadak kangen menulis novel, setelah hampir dua bulan berkutat dengan editing ratusan artikel dan proses menulis nonfiksi. Tapi karena belum ada waktu buat kembali nulis novel, sekarang nulis tentang tips editing novel dulu saja ya.
Kenapa Perlu Melakukan Editing Novel?
Sebagai penulis, biasanya setelah menyelesaikan menulis satu naskah utuh, ini belum bisa dikatakan sebagai naskah novel, lho. Ini masih dalam bentuk draft pertama. Masih berupa naskah mentah.
Apa yang harus dilakukan setelah draft pertama naskah novel selesai? Apakah kita harus melakukan editing sendiri untuk naskah ini? Ini mungkin jadi pertanyaan dasar dari kenapa kita perlu melakukan editing novel sendiri.
Meskipun belakangan, saya lebih banyak menulis naskah nonfiksi, tapi kecintaan saya pada dunia fiksi seperti musafir yang terus berburu padang savana. Jadi, ya begini, ketika pikiran sedang penuh dengan sistematis penulisan nonfiksi, ada lompatan-lompatan pikiran yang malah berlari ke fiksi.
Berdasarkan pengalaman saya menulis sejak 2010-2021, kita tetap harus melakukan editing sendiri, atau self edit. Tujuannya, untuk memperbesar peluang naskah kita ini bisa diterbitkan di penerbit yang diincar.
Selain itu, juga memudahkan dan mempercepat kerja editor juga. Kalau penulis rajin ngedit tulisannya sendiri, dijamin dia bakal jadi penulis kesayangan editor.
Jadi, apa yang harus dilakukan untuk bisa editing naskah sendiri?
7 Tips Editing Novel
1. Jeda untuk Membuka Mata
Setelah proses menulis naskah selesai seluruhnya, hal pertama yang perlu kita lakukan adalah memberi jeda untuk membuka mata. Maksudnya, kita harus istirahat dulu dari naskah yang baru selesai ditulis. Jauhkan diri sejauh-jauhnya dari naskah tersebut.
Kita bisa melakukan hal lain, misalnya baca buku yang sama sekali berbeda tema dengan tema yang baru kita tulis, nonton drama kesukaan (marathon kdrama sih lebih tepatnya kalau saya… hahaha).
Bisa juga mengikuti cara suami saya, Pewe. Begitu dia tahu saya baru menyelesaikan satu naskah, bagaimana pun caranya dia berusaha menyeret saya menjauh dari laptop. Pergi ke luar rumah, atau seperti kapan itu saya diculik dadakan buat touring ke Bogor, bablas Bandung, sampai 10 hari.
Kenapa kita harus menjauhkan diri sejenak dari naskah yang baru selesai ditulis? Memberi jeda bertujuan untuk menghilangkan ingatan kita tentang alur cerita / tulisan yang sudah selesai ditulis tadi dan menyegarkan pikiran kita. Ini juga untuk membangun kembali sisi lain diri kita yang bukan sebagai penulis, tetapi sebagai pembaca dan editor.
Ini mudah? Tentu saja tidak, Esmeralda. Karena secara naluri, kita ingin buru-buru baca kembali tulisan itu. Kalau perlu segera melakukan perbaikan. Namun jika ini yang kita lakukan, ya jelas hasilnya tidak akan maksimal. Apalagi kalau kita masih ingat dengan apa yang kita tulis.
2. Baca Ulang Bukan Hanya Sekadar Sebagai Pembaca Biasa
Kalau dirasa sudah cukup memberi jeda, bisa seminggu, kalau perlu satu bulan, baru kemudian kita masuk proses self edit. Caranya, mulailah proses membaca dengan cara melihat secara garis besar permasalahan yang bisa ditemukan dalam draft pertama kita.
Artinya, kita sebagai pembaca di sini tidak sekadar membaca. Tetapi secara detail memperhatikan struktur tulisan, sistem atau pembagian bab dan adegan, karakter dalam novel, plot hole, dan sebagainya. Di sini, kita tidak secara langsung mengedit kata perkata atau baris perbaris ya.
Oleh karena kita tidak langsung mengedit, maka sediakan kertas, pen, stabilo, dan sebagainya, untuk memberi tanda atau membuat catatan atas garis bersar masalah dalam naskah itu.
Adakalanya, dalam proses pembacaan pertama ini muncul ide baru untuk melengkapi cerita, atau pengembangan adegan untuk menutupi lubang-lubang pada cerita. Apa pun yang muncul dalam pikiran pada proses ini, catat saja dulu.
3. Intip dan Perbaharui Outline
Pada tulisan saya sebelumnya di blog ini, saya pernah menuliskan tentang pentingnya membuat outline. Kalau saya pribadi, saya punya kebiasaan membuat outline dulu sebelum masuk proses penulisan naskah. Namun, ini masih outline mentah, yang hasilnya adalah draft pertama naskah yang juga masih mentah.
Setelah proses pembacaan pertama dan menemukan banyak hal yang masih perlu diperbaiki, saya akan kembali mengintip outline pertama yang sudah dibuat. Outline ini butuh perbaikan dan penyesuaian kembali berdasarkan permasalahan yang baru saja ditemukan.
Detailkan outline tadi menjadi outline fix. Beri catatan perubahan jika ada, atau masukkan detail-detail lain terkait karakter, scene, konflik, di dalam outline. Dalam hal ini, saya kadang menggunakan post it juga.
Jadi, tiap bagian dari outline akan saya salin di post it, kemudian saya tempel-tempel di dinding. Kalau ada adegan atau karakter yang harus dipindah posisinya, bisa lebih mudah melakukannya.
Makanya, kalau saya sudah selesai dengan urusan outline ini, suami paling bahagia. Dinding jadi bersih kembali. Di sisi lain, Pewe ini kadang lucu. Dia suka sekali mengumpulkan lembaran-lembaran post it yang pernah saya buat. Lalu dia akan tempel dengan rapi di jurnal atau disimpan di kotak. Katanya, buat dijadikan harta karun dan kenangan untuk masa yang akan datang.
Oke, lanjut! What’s next?
4. Nulis Lagi, Gaesss!
Iya, benar. Kita perlu menulis sekali lagi draft pertama kita dan menyesuaikannya dengan outline baru yang sudah kita rapikan dan kita buat lebih detail tadi.
Hanya saja, proses nulis untuk kedua kalinya ini tidak berarti nulis ulang semuanya dari kata pertama sampai kata terakhir ya. Ini hanya istilah saya saja sih. Karena pada praktiknya, kita memang perlu baca kata perkata, setiap baris, dan setiap paragraf.
Kita juga perlu mengetikkan lagi kata atau kalimat demi menambahkan bagian yang kurang, memberi perumpamaan atau deskripsi yang lebih lengkap, dalam upaya menjelaskan latar secara lebih detail dan sebagainya.
Tulisan yang sudah lebay jadi makin berbunga-bunga dan lebay? Ya, tak apa. Namun ingat, di tahap kedua menulis ini, kita bukan membangun dari awal ya, tetapi memoles, memperbaiki, menyempurnakan, dan menjadikannya lebih indah.
Oh ya, untuk proses menutup plot hole, kita harus sedikit lebih berhati-hati menulis bagian ini. Dari beberapa novel yang pernah saya tulis, memperbaiki plot novel malah bisa menyebabkan cerita makin banyak bolong.
Di kesempatan lain, saya malah menciptakan adegan baru yang membuat naskah melebar ke mana-mana. Ini baru saya ketahui setelah naskah saya serahkan ke editor dan saya kena protes… hahaha.
5. Last Read, Baca Sebagai Penikmat
Jika perbaikan secara keseluruhan sudah selesai, maka tahap berikutnya, kita kembali harus membaca ulang secara keseluruhan naskah.
Pada tahap editing novel ini, pastikan semua masalah di dalam naskah sudah teratasi, mulai dari pemilihan gaya bahasa dan diksi, kalimat yang tidak nyambung dan berbunga-bunga sudah diminimalkan, plot hole sudah ditutup, semua karakter berkembang dengan baik.
Perhatikan juga eksekusi konflik yang dilakukan. Apakah sudah menarik dan mengundang rasa penasaran atau tidak.
Ah, lagi-lagi saya suka dengan cara Pewe kalau kasih komentar ke saya setiap saya berpindah peran, sebagai penulis, editor, pembaca. Menurut Pewe, perlu switching otak. Sebagai penulis ya gunakan otak penulis. Sebagai editor, otak penulisnya dikantongin dulu, lalu pakai otak editor. Saat jadi pembaca, semua otak lain disimpan di lemari, dan satu-satunya otak yang boleh dipakai adalah otak pembaca.
Ngomong-ngomong, itu otak apa helm sih yang dimaksud Pewe?
6. Cari Analis Reader
Kalau kita punya teman dekat yang bisa dipercaya dan memang bisa memberi masukan yang kritis, kita bisa meminta bantuan teman tersebut untuk baca naskah kita. Mengapa kita butuh seseorang untuk baca naskah kita ini? Ya, kalau kita sendiri terus yang baca, sulit bagi kita menemukan bagian-bagian tulisan yang ternyata masih butuh perbaikan.
Naskah yang sudah kita selesaikan, sebagus dan serapi apa pun kita menuliskannya, bahkan sudah baca dan edit berkali-kali, tetap saja naskah itu belum bisa dikatakan sempurna dan bisa langsung terbit. Kita perlu tahu dulu, pendapat orang tentang naskah kita itu seperti apa.
Bicara tentang teman? Oke, teman yang sekadar teman ya banyak. Teman dekat yang sampai bisa ngorek-ngorek segala macam dari isi hati yang tersembunyi, atau sampai bisa mengkritik saya habis-habisan? Saya tak punya.
Biasanya, kalau ada yang kritik dan defense saya lebih besar, yang mengkritik melipir, baper, dan malah runyam… hahaha.
Satu-satunya teman debat, yang bisa mengimbangi kekeraskepalaan saya untuk sementara ini, ya Pewe. Dia itu bisa mempertahankan argumennya sampai logis dan bisa saya terima. Oh, jangan dikira karena sudah jadi belahan jiwa dan sebagai teman berbagi tempat tidur, dia punya hati yang baik dan pengalah. Big no.
Kalau sudah berurusan dengan mengkritik tulisan saya, dia mah seperti dapat angin segar. Kalau bisa dia bantai itu tulisan, jamin akan dia bantai habis-habisan.
(Kadang saya bertanya-tanya, dia ini sebenarnya suami saya atau kompetitor yang mau jatuhin saya ya?)
7. Revisi Terakhir dan Kirimkan ke Penerbit
Alah, back lagi nih kebanyakan iklannya. Jadi, pembaca terakhir dari naskah kita harus orang lain. Orang ini mesti bisa kasih kritik dan masukan untuk bagian-bagian yang memang perlu perbaikan. Ingat, novel memang cerita fiksi. Meski fiksi atau jalan ceritanya merupakan fantasi, tetap harus logis dan masuk akal.
Semua masukan dari pembaca analisis ini catat. Lalu, lakukan perbaikan lagi berdasarkan semua masukan dan kritik tersebut. Toh tujuannya kan baik, agar naskah ini memang benar jadi lebih baik. Selain itu, juga memperbesar peluang novel itu bisa terbit di penerbit yang kita tuju.
Kalau sudah, bagian terakhir yang perlu kita lakukan adalah mengirimkannya ke penerbit. Untuk bahasan tips mengirimkan naskah ke penerbit sebenarnya juga sudah pernah saya tuliskan. Cuma maklumi ya, itu tulisan lama banget. Kapan-kapan, saya akan buatkan tulisan baru tentang cara kirim ke penerbit yang terbaru.
Okey, akhirnya artikel yang saya selesaikan dalam waktu 30 menit ini selesai juga. Nyolong-nyolong waktu dari kejaran setumpuk deadline yang udah di depan mata. Semoga 7 Tips Editing untuk Novel ini bermanfaat ya buat yang mau ngedit sendiri naskah novelnya sebelum dikirimkan ke penerbit.
wah ini tips yang sangat penting buat penulis novel
tips ini bisa diterapkan untuk buku non fiksi g mbak? aku mau nulis buku non fiksi soalnya
Saya suka cerita fiksi. Saat SMA juga suka menulis cerita fiksi. Sayangnya, kalau itu berupa cerita panjang atau bisa dibilang yang rencananya akan saya buat novel itu sulit sekali diselesaikan. Mungkin benar, saya harus membuat outlinenya dulu.
Satu lagi kesalahan saya adalah menulis cerita adalah menulis dan mengedit saya kerjakan bersamaan. Kalau menurut tips ini, harusnya saya selesaikan draft novelnya sampai selesai. Baru deh editting. Iya kan kak mon?
Bermanfaat banget ini mba Mon. Selama ini, hanya sampai di self editing saja sih. Itu pun hanya sekadar melihat typo atau kelogisan alur. Baca ini, jadi perlu banget untuk dipraktekkan.
Perlu banget ya self editing, biar hasil tulisannya tambah oke dan disukai sama editor, karena pada dasarnya meringankan kerja editor juga, hehehe..
Apakah tips editing novel berlaku juga untuk tips editing artikel blog? Tapi saya nggak sampe bablas ke Bandung juga sih, palingan sekitaran rumah aja, hahaha…
sudah sering baca soal hal ini, mba. memang self editing itu penting yaa dimiliki oleh penulis. biar ga terlalu acakadut sebelum naskah sampai ke proofreader dan editor
saya jadi ingat waktu mau buat skripsi, sama Pembimbing 2 wajib ada outline dulu sebelum memulai, hihih.
proses menulis itu emang panjang ya Mbak, editing juga lebih panjang lagi karena harus baca berulang demi mendapatkan tulisan yang oke punya ya, noted nih Mbak 🙂
Emang penting sih self editing. Biar masuk penerbit enggak terlalu malu2in, ya.
Daku pernah, udah nulis eh yang ada memang mau langsung menyelesaikan, bukan diberi jeda dulu.
Bila dipertimbangkan memberi jeda memang jadi diri yang berbeda, karena pas baca bukan lagi sebagai si penulisnya ya. Jadi langsung ketahuan deh jelek atau kurangnya tulisan di bagian mana. Siip tips nya Mbak Mon
Wah, self editing ternyata perlu banget, bahkan untuk menulis fiksi seperti novel juga ya…Dan kita harus bisa memposisikan diri sebagai pembaca dengan beberapa versi, menjadi pembaca biasa juga penikmat..Dengan self editing harapannya karya kita benar-benar bisa terbit dengan kepuasan tersendiri
Dulu suka sekali menulis fiksi. Namun seiring berjalannya waktu entah kenapa kegiatan itu aku tinggalkan.. Membaca tips editing novel dari mba Monic bikin aku nostalgia zaman dulu karena tips yang paling ampuh buatku adalah meninggalkan dulu sejenak untuk kemudian dibaca lagi 🙂
sampai hari ini saya belum berhasil menyelesaikan novel. dulu padahal rajin bikin cerita bersambung gitu tapi nggak pakai outline. mungkin itu sebabnya tulisannya nggak selesai-selesai. heu
Menyenangkan bangett kak mon dapat partner yang saling melengkapi. Apalagi soal kritik mengkritik hasil tulisan kita 😁😁
Btw saya simpan tips inii, siapa tahu mau novel nanti2… Nggatau kapann wkwkkw
Semoga segera bise menulis novel lagi ya mbak Mon. Aku mengintip tips editing novelnya nih, walaupun gak bisa menulis tapi setidaknya tau bagaimana seorang novelis perlu mengedit novelnya juga.
Ternyata jeda mata ini juga perlu ya, supaya lebih fresh saat mengecek tulisan lagi nantinya bisa aku praktikan untuk menulis postingan berarti ya
Makasih mba Monic tipsnya. Udah lama nggak nulis fiksi nih. Sekarang lebih sering baca aja. Mas pewe keren ya sarannya, lebih teknik. Tapi setuju banget
Artikel ini mengingatkan ku pada novel yang masih jadi wacana hingga hari ini. huhuhuhuhuuu. Tapi kalo jadi editor novel tuh harus jadi penulis novel dulu nggak sih mba monic?
Self editing adalah skill yang masih harus saya asah lagi. Nggak mimpi untuk bikin novel kaya Mbak Mon, minimal untuk tulisan-tulisan pengisi antologi. Terima kasih tipsnya, Mbak.
wah kayaknya saya kalau jadi penulis buat editingnya butuh waktu lama ka Mon, soalnya saya kalau baca tulisan sendiri, memastikan kalimatnnya bener, typo-typonya dan lainnya tuh bisa berkali-kali. pengalaman dulu waktu lanjut sekolah, terbiasa kayak gitu dan itu berpengaruh sampai sekarang. meskipun kadang udah baca berulang aja masih ada 1 atau 2 kata yang keliru netah typo atau apa gitu
Tips ini bisa juga untuk penulisan naskah non fiksi ya, Kak. saya merasakan betul kemarin ketika akhirnya terbit buku pertama. Jeda itu sungguh penting untuk membuka mata sehingga lebih segar saat self editing. Kemarin saya juga memilih drakor-an, hehe, lumayan liat yg bening-bening. Cuma kemairn saya sudah dlm kondisi didampingi editor, jadi tetep aja kejar waktu. Saya cuma minta 2 hari unutk menjauh dari naskah. Nice artikel, saya simpan buat bekal menulis buku selanjutnya. Makasih.