Aku lupa tepatnya tanggal berapa ide awal penulisan buku 99 Cara Berpikir Ala Sherlock Holmes ini muncul. Nah, kali ini aku akan cerita proses di balik penulisan Buku 99 Cara Berpikir ala Sherlock Holmes. Siapa tahu bisa menginspirasi kamu yang sedang mencari ide untuk menulis buku.
Ide Awal Buku Cara Berpikir ala Sherlock Holmes
Dari catatan di agendaku sih bulan Maret 2015. Waktu itu, aku bertemu dengan editorku yang baik hati, Mbak Mira Rainayati. Ketika itu, Mbak Mira cuma tanya, “Mbak, kamu suka baca Sherlock Holmes nggak?”
Aku lalu jawab, “Suka. Kenapa?”
“Coba garap deh sesuatu yang berhubungan dengan Sherlock Holmes, apaan kek. Entah cara berpikirnya atau ketika ia memecahkan suatu kasus. Pokoknya, cari sesuatu yang dilakukan Sherlock Holmes di kisah petualangannya. Lalu, coba terapkan dalam kehidupan nyata. Kehidupan kita sehari-hari,” kata Mbak Mira lagi.
Hari itu, kami tidak membahas lebih lanjut mengenai tema ini. Kami malah ngalor-ngidul hal lain. Yah, biasalah, ngerumpi ala-ala Abegeh gitu deh.
Mencatat Semua Ide yang Muncul Saat Membaca Buku
Lalu aku pulang ke rumah dan ide mengenai Sherlock Holmes ini sempat kuabaikan selama beberapa waktu. Di saat yang sama, aku mulai membaca semua kisah petualngan Sherlock Holmes sambil mencatat setiap ide yang muncul.
Baru pada tanggal 26 Maret 2015, aku mengirim dua outline ke Mbak Mira. Kedua outline itu kuberi judul:
- Berpikir Ala Sherlock Holmes
- Intuisi Ala Sherlock
Aku baru mendapat balasan pada tanggal 27 Maret 2015. Dan balasan Mbak Mira singkat saja., “Garap deh.”
Proses Pembuatan Outline
Outline adalah kerangka karangan atau rencana proses menulis yang di dalamnya sudah terdapat garis besar ide (bab dan subbab), juga deskripsi atau isi bab. Karena pembuatan outline harus logis dan sistematis, maka seharusnya proses selanjutnya lebih mudah kan, ya.
Ternyata, proses pengembangan dua outline ini tidak semulus yang aku sangka. Aku tidak bisa hanya mengandalkan ingatanku tentang kisah-kisah Sherlock yang pernah aku baca. Bahkan catatan yang sudah kubuat sebelumnya, tidak terlalu membantu dalam memudahkan proses menulis.
Jadilah aku harus mengulang semua kisah si detektif keren ini. Aku harus mencari kisah mana yang paling tepat dan perlu analisis ulang agar sesuai dengan outline dan kejadian yang ada dalam kehidupan nyata. Terutama kejadian sehari-hari yang pernah aku alami.
Semua Peristiwa dalam Cerita Harus Logis
Saat membaca kisah “Kasus Identitas”, aku menemukan kalimat Sherlock yang mengatakan, “Hidup ini jauh lebih aneh daripada apa pun yang dapat kita khayalkan. Dibandingkan dengan hal-hal sepele yang terjadi sehari-hari, hasil imajinasi sebetulnya tidak ada artinya.”
Paragraf tersebut masih ada lanjutannya, kira-kira intinya: Seandainya kita bisa terbang, melayang mengitari kota yang luas sambil perlahan menembus atap-atap rumah dan mengintip ke dalamnya, kita dapat melihat berbagai peristiwa aneh, kebetulan-kebetulan, rencana-rencana, berbagai pertentangan, pokoknya segala macam kejadian luar biasa yang terjadi dari generasi ke generasi.
Setelah membaca paragraf dalam Kasus Identitas tersebut, aku jadi teringat salah satu teori menulis novel yang mengatakan kira-kira begini, “Setiap adegan yang ada di dalam novel yang kita tulis harus logis!”
Semua Kejadian di Dunia Nyata Bisa Dianalisis
Pikiranku saat itu adalah, kalau cerita di dalam novel saja harus aku pikirkan setiap adegannya secara logis, kenapa dalam kehidupan sehari-hari kita malah menganggap kejadian-kejadian yang sebetulnya membutuhkan pemikiran matang sebagai hal-hal yang sepele?
Dari pemikiran ini, akhirnya aku mengambil kesimpulan bahwa semua kejadian di dunia nyata, bisa dianalisis layaknya Sherlock Holmes menganalisis setiap kasus yang dihadapinya dalam kisah-kisahnya.
Apa yang selanjutnya aku dapatkan dari membaca kisah Sherlock?
Mengingat Kembali tentang Metode Ilmiah
Pelajaran mengenai metode ini sama seperti Penalaran deduktif yang dijelaskan oleh Sherlock dalam kisah “Penelusuran Benang Merah.”. Dan kita yang sejak duduk di bangku sekolah dasar sebenarnya sudah mendapatkan pelajaran ini. Pelajaran yang sama semakin diperdalam ketika kita di bangku SMA.
Sayangnya, banyak di antara kita yang tidak menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari untuk memecahkan masalah yang kita hadapi. Padahal, kalau saja kita menerapkannya dengan baik, otomatis kita jauh lebih mudah menemukan solusi atas setiap permasalahan yang terjadi.
Jadi, bagaimana cara menerapkan metode ilmiah dalam kehidupan sehari-hari untuk menemukan solusi paling tepat bagi permasalahan yang kita hadapi? Yah, aku nggak mungkin dong menguraikannya di sini. Kamu baca saja buku yang berjudul 99 Cara Berpikir Ala Sherlock Holmes.
Kenapa Jadi 99 Cara Berpikir ala Sherlock Holmes?
Aku pernah mendapatkan kiriman email yang sempat membaca salah satu postinganku mengenai outline. Kenapa buku Berpikir ala Sherlock Holmes karyaku itu jadi 99 bab, padahal outline awalnya hanya 50 bab?
Nah ini nih masalah lain yang harus aku hadapi dalam proses penulisan buku ini. Jadi, pada tanggal 20 April 2015, keseluruhan naskah 50 cara ini sudah aku selesaikan. Ketika aku hendak menyerahkannya ke Mbak Mira, ternyata Mbak Mira berubah pikiran.
“Kayaknya kurang sip deh, Mbak, kalau cuma 50. Gimana kalau kita tambahin aja jadi 100 kek atau mau 200 sekalian?”
Kalau layar laptop bisa merekam ekspresi wajahku saat itu, pasti rekaman itu tidak akan mau kamu lihat loh. Gemas luar biasa. Sudah susah-susah berpikir mengembangkan 50 cara, malah disuruh nambah. Tapi waktu itu, aku hanya menjawab OKE. Karena bagiku, ini tantangan.
Entah kenapa, aku selalu menyukai tantangan. Sesuatu yang sepertinya mustahil aku lakukan akan dengan senang hati aku lakukan. Meskipun dalam penerapannya aku sakit kepala berat.
Membaca Ulang Naskah Sherlock Holmes
Untuk menyelesaikan tantangan di atas, yang aku lakukan adalah membaca ulang. Ya, aku mau tidak mau membaca ulang naskahku dari awal sampai akhir. Aku juga meminta Pewe, belahan jiwa tersayang, untuk ikut membaca naskah ini. Setelah selesai kami membaca naskah ini, kami sepakat dan sepemikiran.
NASKAH INI JELEK!
Bayanginnnn. Ayo bayangiin. Gimana rasanya? Tapi karena aku membaca ulang naskah ini, aku jadi tahu di mana letak kekurangan naskah ini dan bagian-bagian mana saja yang harus ditambahkan.
Pentingnya Data dan Referensi dalam Tulisan
Saat membaca ulang naskah, aku menempatkan diriku sebagai pembaca. Tujuannya, agar aku bisa melihat dan menemukan, mana bagian tulisan yang masih butuh perbaikan. Selain itu, menyetting pikiran sebagai pembaca juga berguna untuk melihat dengan jelas, ini naskah sebenarnya layak baca atau tidak.
Nah, pada saat membaca ulang inilah aku menemukan banyak hal. Ada banyak data dan referensi yang aku rasa kurang. Aku tidak mau menuliskan referensi hanya berupa “menurut penelitian ilmuwan” tanpa mengatakan siapa ilmuwannya. Bagiku membaca buku atau artikel seperti itu hanya omong kosong.
Akhirnya, naskah ini aku TULIS ULANG DARI AWAL dan menambahkan 49 cara lagi dan menjadikan keseluruhan naskah ini 99 Cara Berpikir Ala Sherlock Holmes.
Maksimalkan dan Tantang Diri ke Titik Tertinggi
Apa sepanjang aku mengerjakan naskah ini aku kesal setengah mati sama Mbak Mira? TIDAK! Aku malah sangat berterima kasih. Berkat tantangan yang dia berikan, aku bisa memaksimalkan potensi dan menantang diri sendiri hingga ke titik tertinggi. Maksudnya, aku malah berusaha mewujudkan apa yang kata orang tidak mungkin, menjadi mungkin.
Tentu saja, dengan niat yang kuat, doa yang banyak, dan banyak baca juga ya. Mewujudkan hal-hal seperti ini jelas tidak bisa main sulap atau menjentikkan jari langsung jadi. Tapi, percaya saja. Usaha yang keras, niat yang baik, dan doa, tidak akan sia-sia.
Thanks for everything.
Akhirnya, pada 3 Juli 2015, buku 99 Cara Berpikir Ala Sherlock Holmes TERBIT. Dan pada 3 September 2015, buku ini dinyatakan best seller dan CETAK ULANG. Setelah membaca proses penulisan buku Belajar Berpikir ala Sherlock Holmes ini, kamu dapat ide apa untuk tulisan kamu? Jangan lupa saat menulis, terapkan juga tips menulis lainnya yang ada di blog ini.
Kereeen, Nic …. mantaaap
Makasi, Bunda Titie 🙂