Go To Jakarta

Home » Tips Menulis » Go To Jakarta
Setiap kejadian yang kita lalui, selalu saja menyisakan kenangan dan cerita manis. Begitu juga dengan rencana kepindahanku ke Jakarta, yang sebenarnya dirancang secara dadakan oleh suami tersayang.
Pindah ke Jakarta?
Impian ini sebenarnya sangat jauh dari bayanganku, karena memikirkan harus hidup di kota besar seperti Jakarta, belum apa-apa sempat membuat frustasi diriku. Macetnya, tingkat kejahatan yang tinggi dan lain-lain yang sering kudengar dari berita di televisi atau pun kubaca dari berbagai media cetak, cukup membuatku merinding. Apalagi, aku ini tidak terlalu suka dengan keramaian.
“Coba satu bulan dulu, kalau betah lanjut, kalau nggak betah ya boleh pulang,” berkali-kali suami menenangkan diriku dengan kalimat ini.
Akhirnya, keputusan untuk tetap berangkat pun dibulatkan dalam tekad yang rapuh. Intinya, kami hanya ingin menghabiskan lebih banyak waktu bersama-sama. Sudah ada banyak waktu yang kami lalui dengan hidup terpisah. Dan kami berdua tidak pernah tahu, kapan Tuhan menuliskan kata “The End” bagi salah satu dari kami. Karena itulah, keputusan untuk berangkat ke Jakarta ini diambil.
Kami pun mulai melakukan persiapan. Packing barang dibuat seminimalis mungkin. Satu traveling bag, satu tas ransel ukuran besar yang berisi pakaian + laptop dan satu tas ransel kecil yang isinya hanya laptop dan dua buah buku. Oh iya, ada satu tas kain lagi untuk tempat minuman, kopi dan makanan selama di perjalanan.
Tanggal 29 Maret 2013, jam tujuh pagi, perjalanan pun dimulai. Restu mama + papa mertua mengiringi kami (aku dan suami) yang memutuskan untuk membawa sepeda motor ke Jakarta. Pagi hari di Semarang cerah, perjalanan cukup lancar dan tidak macet karena tanggalan yang merah.
Sayangnya, di tengah perjalanan, waktu tempuh yang kami perkirakan hanya 12 jam sudah sampai Jakarta, ternyata tidak tercapai. Kesadaran baru mulai melanda aku dan suami, bahwa ternyata kami sudah mulai tua untuk touring dengan kecepatan dan tenaga seperti beberapa tahun silam. Sebelum sampai di kota Tegal, kami beristirahat hingga dua kali dalam waktu sekitar setengah jam untuk masing-masing peristirahatan. Saat makan siang di Tegal, bahkan kami menghabiskan waktu hingga satu jam setengah hanya untuk beristirahat. Kecepatan motor pun hanya sekitar 60 km hingga 80 km, karena kondisi jalan yang bergelombang dan kondisi motor yang kami tumpangi sudah tidak seprima dulu lagi.
Jam dua siang kami mulai melanjutkan perjalanan lagi. Mulai kota Tegal inilah perjalanan mulai tersendat-sendat karena di beberapa titik terjadi kemacetan dan beberapa kali ada kecelakaan hebat yang membuat para pengguna jalan terpaksa menghentikan lajunya. Selain itu, jalan mulai bergelombang parah dengan lubang-lubang yang cukup dalam di mana-mana.
Kami juga terpaksa berhenti beberapa kali akibat hujan deras yang disertai angin. Untungnya, guyuran hujan itu hanya sekitar lima belas hingga dua puluh menit hingga akhirnya kami bisa kembali melanjutkan perjalanan. Jam enam sore, kami belum juga memasuki kota Cirebon. Saat itu, aku nyaris putus asa, karena bahu kiriku sudah mulai terasa sakit akibat ransel yang kupanggul cukup berat. Suami sampai bela-belain tukar ransel hanya untuk mengurangi beban di bahu kiriku.
Memasuki kota Cirebon, sudah jam sembilan malam. Saat beristirahat di SPBU, kami sempat berkenalan dengan seorang sopir dan asisten mobil ambulan. Mereka ternyata dari perkebunan yang ada di Medan dan baru saja kembali dari Pati. Ada mayat yang berhasil di temukan di perkebunan tersebut, dan mereka berdua ini ditugaskan untuk mengantarkan jenasah itu ke keluarganya di Pati. Dua laki-laki setengah baya yang beranjak senja ternyata memiliki kekuatan yang luar biasa. Perjalanan dari medan, pati dan medan lagi katanya ditempuh dalam waktu tiga hari dua malam. Aku merasa tersindir hebat, mereka yang usianya jauh lebih tua ternyata bisa memiliki tenaga dan energi sedemikian hebatnya. Lah aku, sebentar-sebentar, aku minta istirahat hanya karena panas atau pegal. Untungnya, suamiku sabar dan nyaris tidak protes saat aku mengeluh dan minta istirahat.
Semakin malam, aku semakin rewel… Itu istilahku sendiri. Saat itu, aku tidak bisa berpikir setenang seperti saat aku menulis catatan ini. Tapi kalau kurenungkan kembali perjalanan Semarang – Jakarta yang kemarin kulalui, ada banyak hal yang menggelitik hatiku betapa keegoisanku kadang kala membuntukan akal sehat.
Bayangkan saja, kami berdua berboncengan naik motor, satu traveling bag ukuran sedang sengaja ditaruh di bagian depan, sehingga sambil berkendara, kedua kaki suami bisa menahan tas tersebut agar tidak jatuh dan tidak membuat aku kerepotan memegangnya. Sebuah tas kain ukuran sedang berisi kopi dan makanan sengaja digantung pula di bagian depan, persis di atas traveling bag. Tujuannya juga sama, biar aku tidak usah repot-repot memegangi barang apapun.
Awal perjalanan, aku memang memanggul tas ransel yang cukup berat karena besarnya tas ransel itu takut mengganggu suami yang nyetir motor. Tapi waktu di Pemalang dan aku sudah merasakan bahu kiriku sakit, suami langsung memaksa untuk bertukar tas ransel. Dia menyerahkan tas ransel laptopnya yang berukuran kecil untuk kupanggul sementara dia sendiri memanggul tas ransel beratku itu di bagian dadanya.
Perjalanan ke Jakarta kali ini memang yang paling lama yang pernah kami lalui dari perjalanan beberapa tahun silam. Jam empat pagi, kami baru masuk Cikarang. Setelah sebelumnya berjibaku di jalanan yang rusak parah di daerah Indramayu. Suamiku tidak mengeluh sedikit pun. Ia menjalani perjalanan kami sekaligus menghadapi kerewelanku yang luar biasa dengan hati yang benar-benar tenang. Bahkan dia masih sempat memijat bahu kiriku yang akhirnya benar-benar bengkak hingga ke sepanjang lengan kiri dan pinggang kiri. Berkali-kali aku bertanya apakah dia lelah, dia hanya tersenyum dan menggelengkan kepala serta mengatakan bahwa dia baik-baik saja. Padahal aku sangat yakin, saat itu pasti suamiku juga kelelahan dengan medan jalan yang rusak parah sekaligus menggendong tas ransel seberat itu di dadanya.
Aku, dengan ketidaksempurnaanku sebagai manusia, benar-benar merasa sangat bersyukur memiliki suami yang seperti ini. Perjalanan ke Jakarta ini membuatku sadar satu hal, aku tidak akan pernah bisa lagi menemukan laki-laki seperti ini. Dia anugerah terindah yang Tuhan berikan untuk mengisi setiap detik di dalam kehidupanku. Aku tidak bisa membayangkan, apa jadinya diriku kalau dia tak ada lagi bersamaku. Semoga saja, Tuhan berbaik hati memberikan kami lebih banyak waktu hingga kami bisa hidup lebih tua bahkan bisa hidup bersama sampai kakek-nenek.
For Punto Wicaksono
With all my heart, i really love you
Terima kasih karena selalu memanjakanku seperti ini 🙂
Bahkan dalam ketiadaan, kamu berusaha memberikan yang terbaik untukku.
Sedang mengikuti pelatihan prakerja untuk meningkatkan skill

About the author

Hobi saya dalam hal kepenulisan menjadikan saya ingin selalu berkarya. Menciptakan ruang blog monicaanggen.com ini bukanlah sesuatu hal yang kebetulan gais. Sit, Enjoy, and Starting Read.. ^_^

Tinggalkan komentar