Pagi tadi saya bangun dan sempat terbengong-bengong sendiri di tempat tidur. Rasanya masih tak percaya saya bisa menginjakkan kaki di Pontianak. Nyatanya, di sinilah saya berada. Saya beranjak bangun dan menuju ke jendela. Pemandangan kota Pontianak di pagi hari indah sekali dari jendela kamar hotel yang saya tempati. Lelah setelah seharian menempuh Perjalanan Menuju PLBN Entikong serasa menguap seketika. Eits… ini bukan berarti saya sudah tiba di Entikong loh ya. Belum. Perjalanan yang akan saya tempuh masih panjang. Meski begitu, rasanya tak sabar untuk membuktikan inilah bukti kerja nyata menuju Indonesia maju.
Jadi, saya pun bergegas bersiap agar tak ditinggal rombongan. Hari ini saya dan rombongan tim Setkab dan tim BNPP akan menuju kota Sanggau. Dari tim Seskab ada Pak Said Muhidin, Kepala Bidang Pengelolaan Informasi, Ibu Mita Apriyanti, Kepala Bidang Pelayanan dan Diseminasi Informasi Asdep Humas dan Protokol, Mas Dhany Kurniawan Pamungkas, Kepala Subbidang Penghubung dan bertindak pula sebagai peliput (fotografer) serta koordinator administrasi anggaran. Terakhir ada Mbak Kurniawati, Kepala Subbidang Data dan Informasi sekaligus bertindak sebagai peliput (reporter) dan koordinator Netizen. Sementara itu, untuk tim BNPP ada Pak Tarigan, Pak Dhika, dan Pak Teguh. Tim netizen terdiri dari saya, Dewi Nuryanti, Terry yang punya akun Negeri Kita Sendiri, dan Choirul Huda. Mau tahu apa saja bukti kerja nyata yang berhasil saya temukan di sini? Yuk lanjut baca ya.
Mencari Bukti Kerja Nyata Menuju Indonesia Maju
Mungkinkah Indonesia maju dan mengejar ketertinggalannya dibandingkan dengan negara lain? Pertanyaan ini muncul dalam benak saya ketika terakhir ke Singapura beberapa waktu lalu. Entah kenapa, setiap saya berada di negara yang satu ini, kekaguman saya terus tumbuh. Luas tanah mereka jauh lebih kecil dibandingkan dengan Indonesia. Sumber daya alam negara Singapura juga tak sekaya Indonesia. Kenapa negara itu jauh lebih indah dan lebih maju dibandingkan Indonesia? Harusnya dengan kekayaan alam yang kita miliki, kita bisa dong lebih maju dan lebih unggul dibandingkan dengan negara tetangga kita itu.
Oke, tak perlulah dulu kita membandingkan diri dengan negara tetangga ya. Saya mau cerita sedikit kekhawatiran orangtua ketika saya pamitan mau ke Entikong. Percakapan di chat whatsapp saya kurang lebih begini:
Ortu: Ngapain ke sana? Kalian lewat darat atau langsung ke Entikongnya?
Saya: Langsung belum bisa lah, Ma, lewat darat sepertinya.
Ortu: Jalannya rusak itu dan di sana masih rawan, kan?
Saya: Entahlah. Saya belum tahu. Nanti saya kabari kalau sudah sampai di sana.
Ortu: Hati-hati loh di sana, jangan jauh-jauh dari rombongan.
Usai percakapan itu saya malah jadi merinding sendiri, benarkah perjalanan menuju Entikong rawan? Benarkah akses jalan daratnya masih rusak? Ingatan saya kemudian melayang saat saya masih jadi medical representatif salah satu perusahaan farmasi ternama beberapa tahun lalu. Saat itu saya ditugaskan di Banjarbaru, namun area sales saya sampai Batulicin dan Kotabaru.
Untuk menuju ke kedua lokasi itu, saya harus lewat jalan darat dengan waktu tempuh kurang lebih 8 jam. Jalan rusak parah, berlubang besar-besar, dan membuat penumpang di mobil terguncang-guncang tak nyaman. Malah pernah bis yang saya tumpangi terbalik akibat terperosok ke lubang besar, yang berakibat patahnya roda bis tersebut. Lebih seramnya lagi, posisi bis berada di tengah hutan yang minim penerangan dan jauh dari pemukiman penduduk. Ingatan ini sesaat membuat saya ragu untuk berangkat.
Masa sih perjalanan darat dari Pontianak menuju Entikong akan seperti itu juga?
Faktanya, pagi ini saya sudah berada di Pontianak dan tak mungkin dong saya balik lagi ke Jakarta. Saya harus mencari bukti kerja nyata menuju Indonesia maju. Jadi setelah sarapan di hotel, saya bersama rombongan meninggalkan hotel sekitar pukul 08.30 waktu setempat. Rombongan yang berjumlah 11 orang dibagi dalam 3 mobil. Di dalam mobil, saya benar-benar membuka mata untuk mengamati sekitar. Jalan-jalan yang kami lalui di Kota Pontianak tak begitu ramai. Kota Pontianak cukup tertata rapi. Bangunan di kiri kanan jalan masih memiliki area parkir yang luas sehingga mobil-mobil tak perlu parkir di pinggir jalan. Pemandangan begini jarang sekali bisa saya jumpai di Jakarta.
Lalu saat memasuki Sei Ambawang, saya melihat satu bangunan baru. Saya pun bertanya pada Pak Mahdi, supir yang bertugas mengantarkan rombongan mengenai bangunan baru yang ternyata adalah Terminal Sei Ambawang. Pak Tarigan (tim dari #bnpp_ri) pun bertanya apakah kami mau mampir? Saya dan Mbak Terry menyahut kalau memungkinkan ya lebih baik mampir. Inilah bukti kerja nyata menuju Indonesia maju yang akhirnya saya temukan. Penemuan pertama! Mengapa saya katakan terminal itu adalah bukti pembangunan? Dengan adanya terminal berarti ada akses transportasi yang lebih baik di kota ini. Masalahnya, saya belum tahu bis yang keluar masuk terminal itu menuju ke mana dan bagaimana situasinya di sana. Untungnya Pak Mahdi, Pak Tarigan, dan Mbak Kurniawati setuju untuk mampir.
Terminal Sei Ambawang Satu Bukti Kerja Nyata Menuju Indonesia Maju
Begitu mobil parkir, saya dan yang lainnya langsung turun dari mobil. Saya mengambil foto banyak sekali, juga sempat berbincang dengan petugas di sana (yang saya lupa namanya… hiks, maafkan). Suasana terminal sepi. Saya sempat heran, apakah tak ada penduduk setempat yang memanfaatkan terminal ini?
Setelah berbincang dengan petugas yang saya temui di sana akhirnya saya tahu kalau terminal ini hanya ramai pada jam-jam mendekati keberangkatan bis. Jadwal berangkat bis yaitu pukul 8 pagi dan pukul 9 malam dengan tujuan Kuching, bahkan ada yang sampai Brunai Darussalam. Harga tiket menuju Kuching 230rb, sedangkan kalau mau ke Brunai harus membayar kurang lebih 750rb. Mahal ya dibandingkan naik pesawat, namun ternyata masih cukup banyak kok penduduk setempat yang memanfaatkan transportasi bis, terutama mereka yang membawa banyak barang dagangan.
Petugas tersebut juga mengatakan dengan adanya terminal ini, ditunjang dengan akses jalan darat yang sudah bagus, sangat membantu perekonomian masyarakat untuk berdagang. Mereka bisa membawa hasil bumi, seperti sahang (merica) ke negara tetangga. Dulu ada perkebunan kakao, namun sekarang lebih banyak merica, juga barang-barang dagangan lainnya. Jika pedagangan meningkat, yang dilihat dari banyaknya sumber daya alam yang dibawa keluar dari Indonesia melalui Pos Perbatasan Entikong, maka bisa meningkatkan ekonomi masyarakat setempat. Ini belum termasuk kalau ada penduduk di sekitar Entikong yang bekerja di Malaysia (untuk hal terakhir ini saya belum tahu pasti karena belum berbicara langsung dengan petugas di PLBN Entikong. Tunggu ulasan saya selanjutnya saja ya setelah saya tiba di sana)
Perjalanan Mulus Sepanjang Jalan
Karena waktu kami sangat sempit untuk eksplorasi lebih jauh, maka kami bergegas melanjutkan perjalanan. Dari Sei Ambawang, perjalanan mulus banget dengan jalan aspal yang bagus, yah semulus cintaku padanya deh… hahaha. Di sepanjang jalan, kami masih menjumpai hutan yang lebat, perkebunan sawit dan pemukiman penduduk.
Khusus pemukiman penduduk, di beberapa titik rumahnya berdekatan, tetapi banyak pula yang jaraknya berjauhan. Rumah-rumah yang dulu dibangun untuk transmigran masih terlihat jelas di beberapa, berupa rumah kayu dengan model serupa. Tapi banyak pula yang telah dibangun jadi rumah tingkat dengan penampilan yang jauh lebih bagus dan berdinding beton.
Saya sempat bertanya pada Pak Mahdi, pak supir yang juga merupakan penduduk setempat, mengenai dampak sudah tersedianya jalan yang mulus ini. Menurutnya, aktivitas masyarakat jadi meningkat dan perekonomian membaik sejak ada jalan ini. Di sepanjang jalan juga mudah ditemui rumah penduduk yang membuka toko kelontong, warung makan, dan sebagainya, mengingat sudah banyak kendaraan yang lalu lalang di sini.
Selain itu, dengan adanya akses jalan yang bagus, aktivitas perkebunan pun menjadi lebih baik. Cukup banyak penduduk yang bekerja di perkebunan kelapa sawit. Jika melihat rumah-rumah penduduk, meski masih kayu, jangan langsung berasumsi mereka hidup di bawah rata-rata, karena banyak di antara mereka yang memiliki penghasilan jauh lebih besar dari gaji PNS.
Saya juga sempat tergelitik saat memasuki daerah Tayan. Ini merupakan jalan baru yang aksesnya jauh lebih cepat untuk menuju ke Entikong ataupun Kabupaten Sanggau. Dengan melalui jalan ini, waktu tempuh hanya kurang lebih 3,5 jam. Dulu, perjalanan hanya bisa ditempuh lewat Pahauman dan waktu tempuhnya bisa lebih dari 7-8 jam dengan kondisi jalan yang luar biasa rusak karena masih berupa tanah merah. Syukurlah saat ini, di bawah Pemerintahan Pak Jokowi sekarang ini, pembangunan di daerah terpencil terus dilakukan hingga daerah-daerah tersebut tak lagi terpencil.
Sayangnya, ada satu kekurangan nih selama perjalanan panjang ini, memasuki daerah Tayan, sinyal ponsel hilang sama sekali. Tak ada satu pun. Saya dan teman-teman satu mobil akhirnya berusaha menghabiskan waktu dengan banyak cara agar tak merasa bosan. Ada yang memilih tidur (walau cuma sebentar, lalu terbangun karena penghuni mobil lainnya berisik), ada yang sepanjang jalan memilih makan kuaci saking jaimnya tak mau terlihat sampai tertidur, ada yang sibuk bongkar-bongkar tas berisi camilan, dan saya sibuk celetukan ini dan itu, termasuk membahas masalah “MARKA” jalan yang kadang ada dan kadang tak ada. Di sisi lain, berkat tak ada sinyal ini pula saya bersyukur jadi bisa banyak berbincang dengan yang lain, kebayangkan kalau ada sinyal, pasti semuanya sibuk dengan ponsel masing-masing.
Ada cukup banyak bukti kerja nyata menuju Indonesia maju dalam perjalanan saya ke Pontianak, yang kemudian dilanjutkan perjalanan melintasi jalan Trans Kalimantan ini. Memang baru sedikit yang saya kisahkan dalam tulisan saya kali ini. Tetapi dari sini bisa kita lihat bahwa adanya pembangunan jalan dan akses yang lebih baik begini sangat berguna bagi masyarakat setempat, dan ini sangat mempengaruhi banyak bidang kehidupan, mulai dari perekonomian, pendidikan, pariwisata, juga kesehatan. Nantikan tulisan saya selanjutnya tentang Jembatan Tayan dan Kabupaten Sanggau yang mempesona.
sayangnya waktu di Pontianak sangat singkat ya Mbak. Mudah2an bs kesini lagi dengan waktu yg cukup panjang utk menikmati beberapa destinasi di sini. Hehehe.
Pengalaman yang menarik banget pastinya ya mba bisa berkunjung ke Kalbar dan melihat langsung pesatnya pembangunan disana 🙂
Saya sudah 2 kali dapat kesempatan perjalanan dinas ke Kabupaten Sanggau, tetapi belum sempat untuk mengunjungi Terminal Sei. Ambawang ini. Next trip bakal masuk list yg akan dikunjungi 🙂
Wah,,, Entikong sekarang sudah maju ya mba.. Semoga pemerintah memperhatikan juga pembangunan di ujung Indonesia ini.