Kasih Ibu

Home » Tips Menulis » Kasih Ibu
Kasih ibu kepada beta
Tak terhingga sepanjang jaman
Hanya memberi tak harap kembali
Bagai sang surya menghiasi dunia
Pernah dengar lagu itu kan?
Hari ini, 22 Desember selalu dirayakan sebagai Hari Ibu.
Apa yang kita lakukan di hari ini sebagai penghargaan kita kepada seorang ibu?
Mungkin ada banyak hal yang kita lakukan dari hanya sekadar mengucapkan selamat, memberikan ciuman sayang, hadiah atau membebastugaskan ibu kita dari pekerjaan rumah tangga.
Tapi apakah
hanya hari ini saja kita melakukan itu semua? Kenapa tidak tiap hari kita melakukannya?
Sejujurnya, aku tidak terlalu dekat dengan mama. Entah kenapa, sentuhan, pelukan atau menunjukkan rasa sayang yang berlebihan ke mama sering kali membuatku canggung. Jelas itu berbeda dengan apa yang dilakukan oleh adik-adikku yang bisa dengan nyaman curhat ke mama, yang kalau ketemu mama bisa langsung seketika itu juga peluk dan cium.
Aku juga tidak mengerti kenapa bisa seperti itu. Dalam artian, bukannya aku tidak sayang mama, tapi untuk menunjukkan perasaan yang berlebihan ke mama itu terasa aneh buatku. Ada banyak hal di dalam ingatanku tentang mama. Bahkan sejak aku kecil, catatan-catatan kenangan itu seolah tertulis dengan jelas di kepalaku.
Aku berani bilang, mamaku adalah salah satu tokoh perempuan kebanggaanku. Wanita super yang bisa melakukan apa saja. Saat aku masih kecil, kehidupan keluarga kami sangatlah kekurangan. Mama dengan tegarnya mampu menghadapi kehidupannya saat itu. Berjualan bensin di depan rumah, membuka toko kelontong yang akhirnya bangkrut karena sering diutangi tetangga, mengisi sesekop demi sesekop pasir ke dalam karung untuk menjual pasir karungan di depan rumah, mengurusi dua anak yang rewelnya setengah mati dan masih mengurusi rumah dan tetek bengeknya.
Pasti banyak yang bertanya, “Loh memangnya Papanya ke mana?”
Papa ada. Papa berjuang dengan caranya sendiri. Dengan truk bututnya ia keluar kota untuk mencari batu dan pasir. Selalu mengambil muatan batu dan pasir itu lebih beberapa kubik untuk diturunkan di depan rumah dan nantinya di karungi mama.
Aku masih ingat dengan jelas, ketika aku masih duduk di Sekolah Dasar. Seorang temanku mengolok-olok papaku yang hanya supir truk dan mamaku si penjual pasir karungan. Saat itu aku marah sekali dan dengan gagah layaknya anak laki-laki, langsung mengajak temanku itu bergulat hingga baju seragamku robek.
Satu kalimat yang pernah diucapkan mamaku begitu terekam jelas di dalam kepalaku hingga saat ini.
“Memangnya kalau Papamu cuma supir, kamu malu kah? Biar Papa cuma supir, biar Mama cuma penjual pasir karungan, kami tidak mencuri dan kami tidak mengemis. Ini bukan pekerjaan hina karena kami hidup dengan keringat kami sendiri.”
Aku tidak munafik dengan bilang bahwa aku dan adik laki-lakiku (dulu kami masih dua bersaudara) nakalnya minta ampun. Kami produk-produk anak yang terlalu berani mengambil resiko, hingga untuk ‘menaklukan’ kenakalan kami yang minta ampun, Papa selalu melayangkan  sebilah bambu berdiameter lebih dari tiga sentimeter untuk menghajar tubuh kami dan membuat kami jera.
Tahu apa yang mama lakukan?
Mama akan memeluk kami berdua sehingga pukulan bambu itu tidak mengenai tubuh kami dan malah menghajar tubuh mama. Ketika acara penghukuman berakhir, mama tidak peduli bilur-bilur merah di tubuhnya. Ia malah sibuk membubuhi tubuhku dan tubuh adikku dengan minyak kayu putih, mengurutnya agar bilur itu segera pulih dan tidak meninggalkan bekasnya.
Bambu itu bahkan masih ada hingga saat ini. Tersimpan dengan baik di salah satu pojokan rumah kami sebagai kenang-kenangan masa kanak-kanak yang ‘seru’.
Mama sepertinya terlahir memang untuk hidup sebagai perempuan perkasa. Jika saat ini banyak perempuan meminta cerai hanya gara-gara memiliki suami yang keras kepala, mama bahkan bisa bertahan hingga tiga puluh empat tahun menghadapi papaku yang memang produk laki-laki ‘berprinsip’ di mana laki-laki memiliki kuasa yang lebih di atas perempuan.
Aku tidak bisa merangkai kata muluk yang mendayu-dayu untuk memuji mama layaknya aku menulis kisah cinta yang manis di novel-novel yang kutulis.
Aku juga tak bisa menyanjung mama setinggi langit betapa baiknya mama sebagai seorang mama yg melahirkanku dengan susah payah. Bahkan di waktu-waktu setelahnya, mama melahirkan adik-adikku hanya dengan menumpang becak dan pergi sendirian ke rumah sakit karena papa sedang berada di luar kota.
Sungguh, memikirkan sedemikian banyak kata hanya untuk kurangkai dalam tulisan ini, rasanya sangat sulit. Karena tidak ada satu kata pun yang pantas kuberikan untuk mama.
Semua yang mama lakukan untukku, untuk adik-adikku, sama sekali tak terukur. Tidak bisa dilukiskan dengan satu kata pun.
Aku hanya berharap, masih ada banyak sekali waktu yang kumiliki, sehingga mama masih bisa menungguku untuk menjadi seorang yang sukses seperti yang diimpikan orang tua mana pun pada anak-anaknya.
Satu hal yang bisa kukatakan. Aku mencintai mama lebih dari apapun di dunia ini bahkan cintaku pada mama nyaris tak bisa dibandingkan dengan apapun yg sedang kukejar.
Aku mencintaimu, Mama. Bahkan lebih dari yang kutahu.
Semarang, 22 Desember 2012
Sedang mengikuti pelatihan prakerja untuk meningkatkan skill

About the author

Hobi saya dalam hal kepenulisan menjadikan saya ingin selalu berkarya. Menciptakan ruang blog monicaanggen.com ini bukanlah sesuatu hal yang kebetulan gais. Sit, Enjoy, and Starting Read.. ^_^

Tinggalkan komentar