Waduh, pagi-pagi sudah bahas masalah kepercayaan nih, apa nggak salah tema?
Salah sih nggak ya, tapi saya pikir ini penting, karena beberapakali saya dihadapkan pada permasalahan yang berkaitan dengan kepercayaan dalam hubungan personal secara profesional maupun hubungan personal dengan orang-orang di sekitar kita.
Beberapa waktu lalu, di dinding Facebook, saya ada menuliskan kisah seorang rekan penulis yang mengalami kejadian, naskahnya diterbitkan, tetapi dengan nama lain. Sebenarnya ini bukan urusan saya, tetapi mengingat dulu saya pernah mengalami hal yang sama, dengan oknum yang sama pula, hati saya tergelitik untuk menuliskannya sekali lagi.
Begini ceritanya:
Teman saya ini, sebut saja A, adalah seorang calon penulis, artinya ia masih awam pada dunia menulis. Suatu hari, ia melihat pengumuman di Facebook, ada semacam sekolah atau tempat kursus yang akan memberi pelatihan mengenai tulis-menulis, mendidik calon penulis. Bagi yang berbakat dijanjikan hasil karyanya akan disalurkan ke penerbit mayor. Meskipun berbayar lumayan mahal, A pun mendaftar, dengan harapan ia bisa mengikuti passion-nya untuk menjadi penulis. Pada akhirnya, pelatihan selesai. A dianggap cukup berbakat dan bersemangat hingga diajak mengikuti serangkaian kegiatan yang diadakan di tempat pelatihan, bahkan menjadi semacam ketua kelas. Naskahnya lalu selesai dan sesuai janji tempat pelatihan itu, naskahnya disalurkan ke penerbit (tanpa menyebutkan penerbit apa). Cukup lama A menunggu kabar, gimana nasib naskah yang sudah dikirimkannya itu. Lalu setelah berbulan-bulan, terbit satu buku dari mentor di tempat pelatihan menulis itu, nama sang mentor tertulis di cover depan buku. Setelah A membeli buku itu, A sadar kalau isi buku itu hampir mirip dengan naskahnya, hanya saja dengan bahasa dan kalimat berbeda.
A kecewa dong? Tentu saja. Tapi, saya tidak akan mengulas perasaan si A dan bagaimana akhirnya masalah ini diselesaikan. Saya ingin mengulasnya dari sudut profesional dan hubungan antar personal.
Sebelum kita lanjut, saya mau tanya dulu nih. Andai Anda jadi A, apakah Anda masih mau bekerja sama dengan mentor yang telah mengkhianati kepercayaan Anda?
Apa Sebenarnya Kepercayaan Itu?
Kepercayaan menurut Ba dan Pavlou (2002)—dari laman usu.ac.id—disebutkan sebagai penilaian hubungan seseorang dengan orang lain yang akan melakukan transaksi tertentu sesuai dengan harapan dalam sebuah lingkungan yang penuh ketidakpastian. Sementara menurut Morgan & Hunt (1994), kepercayaan dapat terjadi saat seseorang yakin akan reliabilitas dan integritas dari orang yang dipercaya.
Dalam hubungan personal antara satu orang dengan orang lainnya, dibutuhkan kepercayaan agar dapat saling bekerja sama dan hidup rukun berdampingan. Contoh sederhananya, suami yang percaya pada istrinya akan berangkat bekerja tanpa khawatir istrinya melakukan hal-hal yang tidak menyenangkan hatinya. Hal yang sebaliknya juga berlaku, istri yang percaya pada suami akan melepas suaminya bekerja di luar rumah dengan hati ringan, tanpa curiga, tanpa pikiran negatif.
Nah, dalam hubungan profesional, kepercayaan juga sama pentingnya seperti hubungan suami istri di rumah, kalau memang hubungan itu ingin berjalan selaras dan kerja samanya tetap langgeng. Dibutuhkan kemauan dari masing-masing pihak untuk menjaga kepercayaan. Tanpa adanya kepercayaan, sulit hubungan profesional bisa berjalan lancar.
Kepercayaan berkaitan erat dengan kejujuran dan komunikasi terbuka dari pihak-pihak yang berhubungan.
Seperti halnya kasus A yang sudah kita baca di awal pembahasan ini. Ketidakpercayaan muncul ketika komunikasi tidak berjalan lancar. (Ini terlihat dari berbelit-belitnya mentor memberi informasi mengenai naskah si A yang tak kunjung ada kabar selama berbulan-bulan). Dan ketidakpercayaan berubah menjadi kecurigaan ketika ada buku yang terbit dengan tema dan isi yang hampir sama, meskipun diolah dalam kalimat-kalimat yang berbeda.
Sekarang mari bandingkan dengan pengalaman yang saya alami baru-baru ini.
Saya bekerja sebagai penulis freelance sekaligus editor freelance untuk salah satu penerbit. Selama kerja sama ini, saya berhubungan langsung dengan si pemberi job. Sementara di sisi lain, ada orang-orang yang berkaitan erat dalam hubungan kerja sama kami, seperti sekretaris redaksi, bagian keuangan, layouter, dan sebagainya. Adakalanya, sesuatu di luar tanggung jawab pemberi job malah sedikit menimbulkan masalah.
Berdasarkan pengalaman di masa lalu (karena saya beberapa kali pernah mengalami seperti yang dialami A), saya berusaha menjalin komunikasi yang baik dengan pemberi job. Hal yang sama juga dilakukan si pemberi job. Jadi, ketika ada hal-hal yang terjadi di luar ketentuan atau kesepakatan yang seharusnya—misalnya berkaitan dengan penagihan, pembayaran, surat kontrak, dan lain-lain—saya selalu membicarakannya secara terbuka dengan pemberi job.
Di sisi yang sama, pemberi job juga melakukan hal serupa. Ketika ada hal-hal yang tidak sesuai dengan harapannya, ia langsung memberitahu saya, mengajak saya berkomunikasi, juga mencari solusi bersama-sama. Dari komunikasi terbuka inilah kepercayaan terbentuk. Saat segala sesuatu tidak berjalan sebagaimana seharusnya, saya tidak langsung berpikiran buruk atau curiga pada pemberi job karena saya yakin ia jujur dan bisa dipercaya.
Kenapa saya bisa yakin dan percaya padanya?
Karena ia bisa memberi penjelasan secara logis dan terbuka pada saya. Dan dari komunikasi yang baik itulah akan terlihat apakah ia jujur atau tidak. Jadi, setiap ada masalah yang terjadi, saya lebih memilih bertanya langsung dan mencari solusi bersama.
Memang, namanya manusia bisa berubah. Ada kebutuhan yang harus dipenuhi. Ada kepentingan yang menuntut untuk digenapi. Tetapi selama kepercayaan menjadi pokok utama dalam hubungan ini, saya rasa semua masalah bisa selesai dengan baik.
Bagaimana dengan Anda?
Apakah Anda sudah jujur dan mampu berkomunikasi secara terbuka dalam hubungan profesional Anda?
Adakah kepercayaan dalam hubungan kerja Anda dengan orang lain?
Pernah merasakan krisis kepercayaan mba Monic…tapi saya lebih memilih untuk tidak membahasnya lebih jauh.
Ternyata begitu yaa, mba…
agar hubungan kepercayaan ini tidak luntur…kita perlu mengadakan komunikasi yang terbuka.
Terima kasih tulisannya mba Monic.
*belajar jadi pribadi yang lebih baik.
Kritis dan terbuka.