Kemarin, Pewe berbaik hati mengajakku keliling Jakarta. Dalam perjalanan, kami beberapa kali melewati sungai-sungai yang penuh dengan sampah menggunung. Satu hal yang terlintas di dalam pikiranku saat itu. Tidak adakah efek jera akibat banjir yang setiap kali melanda Jakarta? Dalam hal ini Jakarta ya, tapi secara umum sebenarnya juga melanda hampir di semua kota yang ada di Indonesia. Bagaimana cara mengatasi sampah? Atau sampah di negara ini belum ada solusi untuk mengatasinya?
Sampah oh Sampah
Di tengah macet, aku mulai menggerutu dalam pikiranku yang suka lompat ke sana – ke mari. Tapi akhirnya tak tahan juga sibuk berdebat dengan pikiran sendiri. Jadilah akhirnya aku ngomong ke Pewe yang lagi sibuk boncengin aku di tengah macetnya Jakarta.
MA: Itu sampah seharusnya tidak dibuang ke sungai. Kenapa orang-orang itu tidak jera membuang sampah ke sungai ya?
PW: Ya, gitu. Mau gimana?
MA: Tapi seharusnya, kalau setiap orang membuang sampah ke tempat sampah, pasti pelan-pelan masalah sampah itu akan bisa ditanggulangi, kan?
PW: Nggak segampang itu. Satu orang buang sampah di tempat sampah, tapi sekampung buang sampah di sungai. Sama aja bohong, kan?
MA: Logikanya gini deh, satu orang membiasakan diri membuang sampah di tempat sampah. Lalu satu orang ini mengajak keluarganya. Dan anggota keluarganya mengajak orang lain yang dikenalnya untuk buang sampah di tempatnya. Lama kelamaan, semua orang jadi terbiasa buang sampah di tempatnya.
PW: Di tempatnya? (Nada PW mulai tinggi, sepertinya dia sudah stres dengan macet sekaligus obrolanku). Tempat buang sampahnya saja nggak ada. Banyak TPA di kota ini sudah tidak mampu menampung jumlah sampah. Banyak pula TPA yang akhirnya ditutup dan dijadikan lahan perumahan. Trus mau buang sampah di mana lagi?
Percakapan Absurb Tentang Cara Mengatasi Sampah
Pertanyaan Pewe itu lumayan mengusikku. Tapi memang sih, sepanjang jalan yang kami lewati, sangat jarang terlihat ada tempat sampah tersedia di trotoar atau di pinggir jalan. Aku sampai tengok kiri kanan, apalagi kebetulan jalan macet begini jadi lebih mudah mengamati. Dan ya, susah sekali menemukan tempat sampah lho. Oke, tak tersedia tempat sampah umum, bagaimana dengan tempat pembuangan atau pengolahan sampah?
MA: Masa nggak ada tempat pembuangan sampah atau pengolahan sampah di setiap kota sih? Harusnya kan ada? Atau sampahnya dibakar saja?
PW: Polusi dong. Nanti jadi seperti Pulau Kalimantan yang selalu menjadi pengekspor asap ke negara tetangga.
MA: Apa bedanya polusi dikit daripada sampah menggunung terus jadi sumber penyakit dan penyebab banjir?
PW: Bisa nggak ntar aja diskusi masalah sampahnya? Mumet ini loh mikir gimana caranya sampai PGC tapi nggak harus kena macet.
MA: Kalau nggak mau kena macet, kita parkir aja motornya di mana kek, terus kita naik busway. Yuk, naik busway aja. Kan enak, kamu jadi nggak perlu capek juga. Sebenarnya, kalau banyak orang yang memanfaatkan busway, pasti masalah macet juga bisa diatasi ya. Coba pikir deh, satu mobil cuma dikendarai satu orang. Satu motor juga hanya untuk satu orang. Jelas aja kan jalanan jadi macet parah. Kalau lebih banyak orang yang memanfaatkan kendaraan umum seperti busway, aku rasa kemacetan tidak semakin parah seperti saat ini. Makanya, kita naik busway aja yuk…
PW: Dari sampah, bahas macet, terus bahas busway… kamu nggak haus ta?
Aku terbahak, alih-alih ikut kesal dengan Pewe yang sebenarnya sudah sangat kesal… hahaha. Dan percakapan penting tak penting tentang sampah ini tak menemukan solusi. Hanya saja, aku yang penasaran terus kepikiran. Bahkan ketika Pewe memutuskan pulang saja karena macetnya terlalu parah dan kami sudah keburu capek untuk jalan-jalan, aku sambut dengan gembira. Dalam hatiku, begitu sampai rumah, aku perlu menuntaskan rasa penasaranku tentang sampah oh sampah yang memenuhi kepalaku dengan browsing atau cari referensi.
Cara Singapura Mengatasi Sampah
Pemikiran tentang sampah itu sepertinya tidak akan berguna kalau cuma hanya menjadi pemikiran. Memang, kewajiban pemerintah adalah membuat berbagai fasilitas yang menunjang kehidupan seluruh penduduk di negaranya. Lalu, apa yang menjadi tanggung jawab penduduknya?
Tiba di rumah, aku langsung buka laptop dan browsing. Yah, ini hanya sekadar ingin tahu bagaimana cara negara lain menanggulangi masalah sampah. Pilihanku pun jatuh pada negara Singapura. Menurutku, salah satu contoh negara yang berhasi mengatasi sampah sepertinya negara Singapura.
Kebetulan aku pernah tinggal di Singapura di tahun 2000 selama kurang lebih 6 bulan. Lalu setelahnya dalam 3 tahun kemudian, aku masih bolak-balik untuk bawa Audi berobat. Nah berdasarkan pengalamanku itu, Singapura merupakan negara yang menjaga kebersihan banget. Bahkan pasar tradisionalnya pun bersihnya, sampai rasanya seperti belanja di supermarket, hanya saja tidak tertutup dan tidak berpendingin ruangan.
Dengan wilayah negara yang termasuk kecil, Pemerintah Singapura sepertinya berhasil menanggulangi masalah sampah dan kemacetan. Untuk mengatasi masalah sampah, Singapura ternyata menggunakan teknologi insinerator, yaitu sampah dibakar dengan sebuah alat berteknologi canggih sehingga tidak menyebabkan pencemaran udara.
Lalu ketika aku browsing lagi, ternyata Jakarta sudah pakai insinerator yang berharga miliaran rupiah. Sayangnya, mesin itu rusak dengan alasan kapasitas mesin tidak mampu menampung sampah yang luar biasa banyak. Aku jadi berpikir. Kenapa teknologi insinerator di Jakarta tidak berhasil? Padahal di Singapura, nyaris tidak terlihat lagi tumpukan sampah yang menggunung di lahan terbuka? Di mana salahnya?
Ingatan Tentang Seorang Perempuan Tua yang Membuang Sampah di Tempatnya
Aku lalu teringat ketika aku jalan kaki dari Sommerville Grandeur menuju ke Botanic Garden, sejauh mata memandang itu memang kondisi jalan bersih dan asri. Iya, Farrer Road itu jalan besar lho, tapi di kiri kanannya memang banyak pepohonan. Cukup banyak orang-orang yang berjalan kaki di trotoar, bahkan beberapa Oma dan Opa berjalan di depanku dengan arah yang sama.
Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri ketika salah satu Oma menjatuhkan bungkus kecil yang tampaknya seperti bungkus permen. Dia berhenti dan memungut bungkus kecil itu, kemudian memasukkannya ke tas kain kecil yang tergantung di bagian tali tas selempangnya. Ketika kemudian dia menemukan tempat sampah, baru isi tas kain kecil itu dia tumpahkan ke tempat sampah.
Ingatan itu meyakinkan aku bahwa kesadaran masyarakat dalam menjaga kebersihan lingkungan itu perlu banget dan hal ini ya tergantung pribadi setiap orang. Di Singapura, bahkan anak kecil berusia sekitar 6-7 tahun yang kulihat di Botanical Garden sudah memiliki kesadaran membuang sampah pada tempatnya. Anak kecil itu melakukan hal yang sama seperti Oma yang jalan bareng sama aku tadi.
Bahkan, kesadaran yang tinggi itu pula yang mendorong orang-orang yang hari itu kutemui, tak segan memungut sampah yang mereka temukan. Kemudian membawanya ke tempat sampah terdekat. Ngomong-ngomong, tempat sampahnya memang tersedia banyak dan bisa kita jumpai dengan mudah.
Indonesia harusnya juga bisa sih. Kalau semua orang membangun kesadaran yang sama untuk menjaga kebersihan lingkungan, aku rasa masalah sampah bisa pelan-pelan teratasi. Tinggal nanti urusan Pemerintah, bagaimana cara mengatasi sampah di pembuangan akhir agar tidak menumpuk.