Satu Masa Ketika Aku Ingin Menyerah

Home » Tips Menulis » Satu Masa Ketika Aku Ingin Menyerah
Tepat jam 00.05 tadi, aku baru keluar dari studio 5 Ganci. Aku dan PW baru saja selesai menonton film Interstellar. Aku masih terbengong-bengong. Film itu luar biasa karena mengajarkan bahwa manusia itu harus bertahan hidup apa pun yang terjadi. Bahkan di dalam keadaan yang sangat sekarat, manusia tetap harus berjuang untuk tetap hidup! Di dalam film ini juga aku tahu, cinta yang tulus memiliki kekuatan yang luar biasa!
 
“Do not go gentle into that good night; Old age should burn and rave at close of day. Rage, rage against the dying of the light.”
 
 
Lalu aku teringat kejadian beberapa hari yang lalu!
 
Saat itu, aku rasa aku hampir saja mengalami serangan jantung pertama.
Oh ayolah, ini benar-benar kejadian mengerikan. Aku tidak pernah membayangkan kalau aku akan mengalami serangan jantung untuk pertama kalinya di usia 36 tahun!
 
Kenapa aku berani mengatakan kalau rasa sakit yang sangat hebat di dada kiriku bukan masuk angin biasa melainkan gejala serangan jantung?
 
Aku sudah banyak membaca artikel tentang penyakit jantung sejak ayahku divonis jantung koroner. Bahkan ketika itu, ayahmu disarankan untuk melakukan operasi by pass jantung (minimal pasang ring) agar tetap bisa bertahan hidup. Namun syukurlah, kekeraskepalaan ayahku (juga tentu saja doa yang tak pernah putus, membuat ayahku tidak perlu melakukan kedua hal tersebut dan tetap bertahan hingga saat ini–semoga untuk selamanya juga).
 
Oke, aku tidak sedang bercerita tentang ayahku dan penyakit jantungnya. Tetapi aku akan bercerita tentang dua hari yang serasa di neraka . Aku sudah merasakan tubuhku ada yang tidak beres di hari itu. Aku kira aku hanya masuk angin, jadi aku minum obat masuk angin, melumuri seluruh badanku dengan minyak kayu putih dan tetap bekerja sampai jam dua pagi. 
 
Besok harinya, aku semakin merasa tidak nyaman. Bahu kiriku luar biasa pegal hingga untuk menggerakkan jari-jariku di keyboard laptop, aku harus mengerahkan seluruh tenagaku. Selain itu, sejak pagi, aku merasa ada seseorang yang menusukkan balok besar di dada kiriku, dari bagian depan dada tembus ke bagian belakang. Rasa nyerinya luar biasa, napasku juga semakin lama semakin sesak. Rasanya, untuk menarik satu napas panjang saja, aku membutuhkan usaha dan tekad yang luar biasa. Di saat yang sama, sekujur tubuhku dibanjiri keringat dingin.
 
Seharian itu aku masih bisa bertahan, tetap bekerja, walau tidak banyak halaman yang berhasil kuedit dan tidak banyak tulisan pula yang berhasil kutulis.
 
Malam harinya, ketika PW pulang kerja, aku pun mengatakan padanya betapa dadaku ini sakit sekali. PW memintaku berhenti bekerja, memijatku, lalu menyuruhku tidur. Awalnya, sulit bagiku untuk jatuh tertidur di pukul sembilan malam. Tapi akhirnya aku tertidur juga karena tidak tahan lagi sakitnya.
 
Sayangnya, aku terbangun di tengah malam dan rasa sakit itu kembali lagi. Luar biasa sakit. Ini pertama kalinya aku merasakan sakit bahkan lebih sakit dari melahirkan (Saat aku melahirkan Audi, sakitnya cuma 2 jam loh… heheheh)
 
Di tengah rasa sakit itu, pikiranku yang buram melantur ke mana-mana dan di detik itu pula, AKU INGIN MENYERAH. 
 
Ayolah, pikirku. Kalau memang harus mati. Mati saja! Kebetulan aku sudah lelah. Sangat lelah. 36 tahun hidupku bukan sebuah perjalanan hidup yang mudah. Dalam prosesnya ada banyak pengorbanan, jatuh-bangun, histeria yang menyesakkan, bahkan aku sempat merasa sia-sia bahwa kerja kerasku hingga hari ini belum bisa membuatku layak memiliki kehidupan yang dicita-citakan orangtuaku, bahkan dibandingkan empat adikku dan dua adik iparku, hidupku jauh di bawah mereka.
 
INTINYA, AKU LELAH! 
Jadi kalau memang serangan jantung ini memutus napasku. Silakan saja!
 
Di tengah pikiran gila untuk mati, PW menangis di sebelahku. Dia tidak menyuruhku bertahan. Dia malah menceritakan perasaan yang dirasakannya saat itu.
 
“Kalau kamu mati, aku tidak tahu apakah aku sanggup melanjutkan hidupku. Semua yang kujalani hari demi hari berfokus padamu. Aku mengurusmu, aku berjuang untuk membahagiakanmu, walau mungkin saat ini kamu masih merasa kurang. Aku juga selalu berusaha sekuat tenaga untuk membuatmu tersenyum padaku karena aku sangat bahagia hanya melihatmu tersenyum. Lalu semua itu hilang! BLAM! Aku yakin, aku tidak akan bisa melakukan apa-apa lagi tanpamu!”
 
Kata-katanya sederhana. Sama sekali tidak ada janji apa pun. Terkesan egois karena ia hanya membicarakan dirinya, hatinya, dan apa yang terjadi padanya. Meskipun begitu, aku tidak rela PW-ku mengalami hal itu. Aku tidak suka melihatnya menangis. Aku juga tidak sanggup membayangkan apa yang dikatakannya padaku akan benar-benar terjadi.
 
Lalu secara ajaib, rasa sakit itu sedikit demi sedikit berkurang. Masih ada nyeri, Masih sesak. Tapi tidak terlalu. Bahkan tiga hari setelahnya, rasa sakit itu tidak lagi kurasakan. Aku kembali seperti sedia kala, dan tidak benar-benar mengalami anfal! Thanks God! Thanks PW juga karena menangisiku malam itu.
 
Nah, balik lagi ke malam ini.
 
Ada satu adegan yang dikatakan oleh Dr. Amelia Brand. 
 
Love is the one thing that transcends time and space.”
 
Aku rasa itu benar adanya.
Hanya cinta yang mampu melampaui ruang dan waktu!
Hanya cinta PW yang membuatku kembali harus bangkit, berjuang, dan terus bertahan untuk masa depan yang lebih baik!!!
Eh, dan cinta ayahku juga. Karena selama aku kesakitan, beliau meneleponku begitu sering hanya untuk tahu keadaanku 🙂
 
Sedang mengikuti pelatihan prakerja untuk meningkatkan skill

About the author

Hobi saya dalam hal kepenulisan menjadikan saya ingin selalu berkarya. Menciptakan ruang blog monicaanggen.com ini bukanlah sesuatu hal yang kebetulan gais. Sit, Enjoy, and Starting Read.. ^_^

Satu pemikiran pada “Satu Masa Ketika Aku Ingin Menyerah”

  1. Akhir-akhir ini, aku seringkali mengalami gejala seperti yang kamu rasakan itu, Nic …. Aku sudah curiga kalau itu adalah gejala serangan jantung.

    Balas

Tinggalkan komentar