Sebarkan Berita Baik Demi Bersatu Dalam Menjaga NKRI – Pernah mendengar tentang berita hoax? Pastilah pernah karena sebagian dari kita punya media sosial. Ya, media sosial menjadi wadah paling sering digunakan oleh oknum-oknum tak bertanggung jawab untuk menyebarkan berita hoax.
Ada banyak alasan yang melatarbelakangi orang-orang tersebut menyebarkan berita bohong, baik karena persaingan bisnis, untuk merebut pasar, perebutan panggung politik, dan sebagainya. Akibat banyaknya berita hoax yang tersebar, masyakat kita menjadi terpecah belah. Perdebatan yang panas terus saja menghiasi media sosial, bahkan sering pula sampai terbawa ke dunia nyata.
Dua orang yang tadinya bersahabat erat tiba-tiba menjadi musuh bebuyutan karena keduanya memilih untuk berpihak pada berita yang berbeda, yang satu pro berita hoax dan yang lain pro berita anti hoax. Bhinneka Tungga Ika yang menjadi semboyan bangsa Indonesia menjadi ternoda. Keberagaman yang dulunya menjadi kebanggaan bangsa dan membuat Nusantara terlihat begitu kaya di mata negara luar, malah kini dianggap sebagai penyebab segala permasalahan yang terjadi. Apakah kita akan membiarkan hal ini terus terjadi? Apa yang harus kita lakukan?
Fenomena Berita Hoax di Media Sosial
Teknologi informasi dan internet berkembang pesat beberapa tahun terakhir yang diikuti dengan bertambahnya pengguna internet dari tahun ke tahun. Pada 2017 berdasarkan survei yang dilakukan We Are Social Singapore menyebutkan bahwa pengguna internet di Indonesia telah mencapai angka 106 juta orang dan 92 juta di antaranya adalah pengguna media sosial aktif.
Sejak kemunculannya, media sosial menjadi pedang bermata dua. Di satu sisi, ada banyak manfaat mengakses media sosial, seperti mudahnya mencari informasi, mendapatkan peluang kerja dan relasi, menjalin tali silaturahmi dengan kawan lama, mempertemukan anak dan orangtuanya yang sempat terpisah puluhan tahun, menjadi sarana berbagi informasi, dan sebagainya.
Di sisi lain, ada cukup banyak pula hal negatif akibat adanya media sosial, seperti tingkat toleransi yang menurun drastis, praktik cyber bullying, orang menjadi lebih individualis dan kurang peka terhadap lingkungan, penyebaran pornografi, judi online, ancaman phising, scammer, penipuan, penculikan, plagiarisme, radikalisme online, rasisme, perekrutan jaringan/organisasi berbahaya, dan yang terakhir menjadi wadah paling ideal dalam penyebaran ujaran kebencian dan berita hoax.
Mari sejenak kita mundur ke beberapa tahun silam, yaitu ketika Pemilihan Umum Legislatif dan Pemilihan Presiden 2009. Pada saat itu revolusi digital telah dimulai dan sudah memberi sinyal kuat mengenai besarnya peran media sosial dan peran para pencipta konten viral dalam menggiring opini publik. Harusnya, yang dilakukan para pencipta konten viral adalah bergiat dalam sebarkan berita baik demi bersatu dalam menjaga NKRI. Fakta yang terjadi adalah sebaliknya.
Semakin berkembang teknologi informasi, yang diikuti semakin banyak pengguna internet di Indonesia, membuat arus informasi menjadi tak terbendung. Berita baik dan berita bohong bercampur aduk menjadi satu hingga masyarakat yang masih gagap teknologi menjadi kebingungan dalam menentukan pilihan mana yang benar dan mana yang tak benar.
Peristiwa selanjutnya di ajang politik Indonesia, yang menunjukkan bagaimana penyebaran konten digital sangat berpengaruh dalam masyarakat adalah ketika pemilihan presiden tahun 2014. Di masa itu, isu mengenai perbedaan agama, suku, ras, bahkan isu sensitif lainnya digunakan sebagai alat untuk mendapatkan dukungan sebanyak mungkin. Pokoknya menang, apa pun caranya. Akibat banyaknya berita hoax yang beredar, masyarakat terbelah. Bhinneka Tunggal Ika tak lagi menjadi semboyan yang menyatukan keberagaman. Hal yang sama terjadi kembali pada Pilgub DKI.
Sejujurnya, saya pun sempat termakan isu dan berita hoax yang membuat saya ketakutan setengah mati. Akhir tahun 2016 tepatnya saya mengalami hal ini. Ketika itu ramai berita yang menyebutkan akan terjadi sweeping untuk masyarakat keturunan China, bahkan ada pula pemberitaan akan terulangnya peristiwa 1998 yang mengerikan. Saya ketakutan dan dalam posisi sendirian di rumah karena suami sedang berada di luar kota. Berita hoax yang saya dapatkan di internet ketika itu ternyata juga dibaca oleh para tetangga yang tinggal di kompleks kontrakan tempat saya berdiam selama ini. Jelas makin ketakutanlah saya karena di lingkungan tersebut, hanya saya satu-satunya yang keturunan China.
Selama dua hari setelah membaca berita hoax yang melintas di timeline media sosial saya, pilihan yang sama ambil adalah berkurung diri di dalam rumah, tidak membuka pintu dan jendela, mematikan lampu, tak berani bersuara. Saya berharap jika berita itu benar maka orang-orang yang berniat jahat akan melewati rumah yang saya tinggali karena beranggapan saya tak ada di rumah.
Di hari ketiga, saya mulai kelaparan karena saya tak terbiasa menyimpan bahan makanan. Meski lapar, saya tetap bertahan untuk tak keluar rumah. Di hari ke-4, demo besar dengan ribuan massa berlangsung di Jakarta. Ketakutan saya semakin menjadi-jadi. Meminta tolong melalui telepon pun saya tak berani karena menerima atau menelepon akan membuat suara saya pastilah bisa didengar orang yang melintas di depan rumah. Tapi di hari ke-4 itu pula pintu rumah saya diketuk dengan riuh oleh beberapa tetangga.
“Mbak, buka pintu? Mbak ada di dalam, kan? Mbak baik-baik saja? Mbak, jawab dong. Kalau sakit sini kita ke rumah sakit?”
Kalimat-kalimat yang terucap dari beberapa suara perempuan dan lelaki saling bersahutan di depan pintu kamar. Nada suara mereka penuh kekhawatiran. Gedoran di pintu terus berbunyi sampai akhirnya dengan penuh ragu dan ketakutan saya membuka pintu sedikit. Saat saya melongokkan kepala dan hendak mengatakan saya baik-baik saja, ibu yang persis tinggal di sebelah rumah saya mendorong pintu dengan keras dan langsung memeluk tubuh saya.
“Ya, Allah, Mbak. Ya, Allah! Ini gara-gara berita itu ya? Nggak, Mbak, itu nggak bakalan terjadi. Kita ini orang Indonesia. Sama punya haknya” Ibu itu menangis dan saya pun ikut menangis. Hari itu saya sungguh belajar, dalam upaya orang-orang yang berniat memecah belah persatuan bangsa ini, masih banyak orang yang sebenarnya ingin tetap bersatu dalam menjaga NKRI.
Generasi Anti Hoax
Bersamaan dengan gencarnya penyebaran berita hoax, ujaran kebencian, dan berita-berita negatif lainnya, muncul pula generasi anti hoax. Generasi ini adalah sekumpulan orang yang meliputi anak muda, para praktisi, pengusaha, ibu rumah tangga, dan masih banyak lagi, yang bersatu padu untuk menetralisir berita hoax. Mereka membuat komunitas-komunitas di media sosial yang bertujuan mengedukasi masyarakat dan menginformasikan mana berita hoax dan mana berita benar berdasarkan data dan fakta yang ada.
Awalnya saya mengira hanya ada satu grup di media sosial yang berani menyatakan diri sebagai generasi anti hoax, namun setelah saya search kembali di kotak pencarian, ternyata ada cukup banyak grup sejenis. Di grup yang saya ikuti, jika ditemukan ada indikasi berita hoax, mereka akan bergotong royong, saling membantu mencari data yang valid, demi membuktikan kebenaran berita yang beredar, kemudian menyebarkan dengan harapan ada banyak masyarakat yang akhirnya mengetahui mana berita hoax dan mana berita benar.
Gaung yang terus mereka suarakan adalah sebarkan berita baik dan bersama-sama bersatu dalam menjaga NKRI. Dari sini mata saya semakin terbuka, bahwa anggapan yang menyebutkan tingkat kepandaian dan kemampuan literasi media masyarakat kita yang masih rendah, tidaklah terbukti. Masih ada lebih banyak orang yang mau bersama-sama menyebarkan berita baik, menolak berita hoax, dan bahu membahu menjaga persatuan dan kesatuan Bangsa Indonesia.
Literasi Media Untuk Sebarkan Berita Baik
Di era digital seperti saat ini, semua orang memiliki potensi untuk menjadi jurnalis karena bisa membuat konten untuk diposting di media sosial masing-masing, juga bisa menulis berbagai berita, entah berita hoax maupun berita baik, di blog atau website pribadi. Bahkan bisa pula membuat konten dalam bentuk foto, video, maupun meme. Demi menghasilkan konten yang baik, seharusnya setiap orang yang bergiat di media sosial mengetahui bagaimana cara membuat berita dan hanya sebarkan berita baik demi bersatu dalam menjaga NKRI. Landasan utamanya jelas undang-undang yang berlaku, termasuk undang-undang yang berkaitan dengan jurnalistik.
Masalah yang kemudian banyak terjadi adalah para pengguna media sosial ini kerap terjebak pada pembuatan berita-berita yang hanya bertujuan untuk meraih komentar dan menarik perhatian banyak orang, bertujuan viral, bahkan akhirnya juga terjebak dalam pemberitaan yang mengandung provokasi atau menyajikan berita yang tak didukung dengan data dan fakta akurat.
Jika di pembahasan sebelumnya saya mengangkat isu politik yang banyak dijadikan bahan berita hoax, kali ini saya menyoroti berita hoax berkaitan dengan dunia kesehatan dan ini bisa sangat berbahaya. Masih ingat dengan berita mengenai manfaat konsumsi semut jepang bagi penderita diabetes? Berita ini sempat viral dan diyakini kebenarannya oleh banyak orang sehingga mereka mengikuti saran yang dianjurkan dalam pemberitaan tersebut.
Sejalan dengan waktu, akhirnya kebenaran pun muncul untuk meluruskan pemberitaan yang terlanjur tersebar tadi, bahwa mengkonsumsi semut Jepang belum ada penelitian khusus yang mendasarinya dan jika dikonsumsi secara sembarangan malah berbahaya bagi penderita diabetes.
Dilansir di laman new.detik.com yang tayang tanggal 9 Februari 2016 diulas mengenai berita semut Jepang sebagai obat diabetes adalah berita hoax karena belum ada penelitian lebih lanjut berkaitan dengan manfaat konsumsi semut Jepang. Selain itu disebutkan pula bahwa diabetes adalah penyakit akibat gangguan metabolisme dan tidak bisa disembuhkan 100 persen, hanya bisa dikendalikan dengan menjaga pola makan dan minum obat yang teratur.
Masih butuh contoh berita hoax yang merugikan dan membahayakan jiwa atau menjadi penyebab perpecahan dalam masyarakat? Saya rasa, masing-masing dari kita bisa menyebutkannya satu persatu karena sudah banyak berita hoax yang tersebar di berbagai media sosial, juga klarifikasi yang menyatakan kalau berita itu memang benar-benar hanya berita bohong belaka.
Hal pertama yang perlu diketahui sebagai upaya peningkatan kemampuan literasi media adalah mengetahui ciri-ciri berita hoax. Menurut Djoko Setiadi, Kepala Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), dalam pernyataannya yang dimuat di laman viva.co.id (01/03/2018) menyebutkan ada 5 ciri berita hoax, yaitu:
- Periksa apakah di dalam berita tersebut ditemukan keanehan atau ketidakwajaran.
- Berita hoax biasanya menggunakan bahasa yang provokatif serta memanfaatkan isu yang sedang tren, isu yang melibatkan tokoh terkenal, instansi pemerintah ataupun swasta.
- Identifikasi berita melalui memeriksa kesesuaian judul dan isi berita. Kebanyakan berita hoax tidak sesuai antara judul dan isi beritanya.
- Cari tahu sumber beritanya. Berita yang ditayangkan media online yang telah terverifikasi Dewan Pers memiliki kemungkinan besar adalah berita benar. Jika sumber beritanya dari media online tak dikenal, maka perlu diragukan pula kebenarannya, atau lakukan pengecekan lebih lanjut.
Sementara menurut Yosep Adi Prasetyo, Ketua Dewan Pers periode 2016-2019, yang dimuat di laman wartakota.tribunnews.com (31/08/2017), ciri-ciri berita hoax meliputi:
- Berita menyebabkan kecemasan, permusuhan, dan mengandung ujaran kebencian.
- Sumber berita tidak jelas dan sulit terverifikasi.
- Isi pemberitaan tidak berimbang dan cenderung menyudutkan pihak tertentu.
- Berita hoax bermuatan fanatisme atas nama ideologi yang terlihat dari judul dan pengantarnya yang bernada provokatif, memberi penghakiman, tanpa menyebutkan data dan fakta pendukung.
Sebarkan Berita Baik Demi Bersatu Dalam Menjaga NKRI
Dengan banyaknya berita hoax atau berita bohong yang masih saja menyebar di media sosial, apa yang bisa kita lakukan? Hal pertama yang perlu kita lakukan adalah menjadi pribadi yang melek literasi media dan jadi pengguna media sosial yang cerdas. Berhati-hatilah saat hendak menekan tombol share/berbagi karena penyebar berita hoax juga bisa dikenai hukuman, yaitu berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Inilah mengapa ada istilah jempolmu bisa jadi harimaumu.
Selanjutnya, karena pengguna media sosial juga sebagai pencipta berbagai konten (semua yang diposting di media sosial bisa disebut konten) maka ciptakanlah konten positif dan hanya sebarkan berita baik saja. Saat menerima suatu berita, pertimbangkan matang-matang untuk membagikannya kepada orang lain dengan beberapa pertanyaan, seperti:
- Apakah berita ini benar?
- Siapa atau dari mana sumber awal berita tersebut?
- Apakah berita ini bermanfaat bagi orang lain?
- Apakah berita ini mengandung ujaran kebencian atau fitnah?
Jika sebagian besar jawaban untuk empat pertanyaan tadi merujuk pada berita hoax, maka hentikan penyebaran berita tersebut sampai di diri kita sendiri saja dan tak usah ikutan latah menjadi penyebar berita hoax. Bergabung dalam grup, fanpage atau komunitas yang merupakan generasi anti hoax juga bisa membantu kita untuk tahu kebenaran suatu berita. Di Facebook ada cukup banyak grup anti hoax, seperti Forum Anti Fitnah, Fanpage Indonesia Hoaxes, Indonesia Hoax Buster, dan sebagainya.
Hal terakhir yang bisa kita lakukan sebagai pengguna media sosial, buatlah beragam konten positif yang membawa manfaat bagi banyak orang dan inspiratif, yang disertai dengan data pendukung yang akurat serta dari sumber terpercaya. Dengan partisipasi kita membuat lebih banyak konten positif maka membantu untuk mencerdaskan masyarakat juga sehingga berita hoax bisa kita tangkal bersama-sama agar tidak menjadi penyebab pecahnya persatuan dan kesatuan bangsa. Yuk, sebarkan berita baik demi bersatu dalam menjaga NKRI.
Bener banget. Di jaman serba digital memang harus bijak dan cerdas. Karena semua dalam genggaman. Nkri memang perlu dijaga. Thanks for sharing
Sejak dulu saya udah jenuh banget dengan yang namanya hoax. Media sosial harusnya digunakan untuk hal positif. Saya pribadi lebih suka hal yang ringan saat bermedsis. Kalaupun mau memberikan kritik atau pujian, smapaikan dengan cara yang benar. Jangan berdasarkan hoax. Baguslah kalau semakin disosialisasikan ajakan untuk selalu menyebarkan berita baik
nah ini yang aku cari selama ini. suk ageram dengan orang yang posting sesuai yang udah jelas itu hoax. sekarang tinggal aduin aja deh biar gak bikin panas.
Iya, hoax meresahkan banget. Kemunculan sosmed malah semakin memudahkan penyebaran hoax. Capek liatnya… Jadi sekarang belajar memilah milih berita, banyak2 referensi juga, dan yg lebih penting someday semua tulisan dan ucapan kita akan dipertanggungjawabkan
Dan ga cuma netizen aja yg harusnya diingatkan, pemerintah juga, hihi, suka gimana gitu klo justru pemerintahnya yg nge-hoax
Hoax plg nyata n nyebelin it adalah org yg suka ngirim2 video g jelas di Grup WA. Tinggalin bentar tau2 udh full aja mcm2 yg nyebarin hal sama. Aduh, sebel banget lah pokoknya berasa mau lgsg keluar grup. Haha
Ya Allah mbak, baca pengalamannya jadi merinding sendiri. Kabar hoax ini benar-benar terlalu ya, terlaluuu banget. Jahat sungguh orang-orang dibalik kabar hoax itu
Makanya medsosku cuma buat kempen2 aja dan nyetatus2 yang ringan2 aja, gak kepengen jadi org sok teu nyebar2, eh ternyata yg disebar2 keliru, kecuali udah paham infonya dan yakin itu sumber terpercaya. Sbg org yang banyak mainan medsos emag kudu dimulai dr diri sendiri buat nahan jempol TFS
ngeliat begitu banyaknya berita hoax bertebaran di medsos, bikin ngeri ih.. kadang aneh sendiri, kok ada ya yang mau percaya sama hoax.. buktinya, kalo ga ada yang percaya sama hoax, pasti ga bakalan menjamur tumbuh subur kayak sekarang. Mantap ini, perlu semakin banyak tulisan dan gerakan anti hoax di medsos supaya NKRI tetap utuh terjaga
Kalau berita hoax ini memang seharusnya kita tabbayun alias konfirmasi atau juga bisa dengan Googling bener gak beritanya. Tapi ibu mertua yang kadang sering kirim – kirim berita hoax. Jadi kadang kita kasih tahu pelan – pelan kalau itu hoax alias gak bener.
Bener mba sekarang berita hoak semakin banyak. Orang-orang ituvya panasan, dapat berita bukannya langsung tabayun malah langsung shar share. Padahal kalau beritanya nggak bener kan, bisa jadi fitnah ke orang lain
Semut, Mpo punya dan pelihara tapi gak tega minumnya. Untungnya dahulu dikasih sama tetangga, Mahal belinya.
Harus banget zaman sekarang menyampaikan berita baik dan benar. Sudah nggak zaman lagi menyampaikan yang hoax. Dan kita sebagai penyampai berita maupun yang mencari informasi berita, harus jeli dan pandai memilahnya.
Sudah sepantasnya generasi jaman now menyebarkan berita baik ya mbak, apalagi kl sampai berita2 di baca oleh orang awam.
Berita hoax udah liar mba penyebarannya. Makanya aku anti banget forward berita-berita yang aku terima dari WAG, sebelum yakin itu benar.
Susah banget tapi ya mbak untuk mengidentifikasi ini hoax atau bukan. Semakin mudahnya berbagi nformasi dewasa ini malah justru ada pihak yang menyalahgunakan ya. Harus lebih pintar sebagai penerima informasi juga
Iya sering banget ya dpt info hoax gitu sekarang-sekarang ini. Aku juga bingung kenapa org2 mudah banget nyebarin info tanpa mencari tahu sumbernya. Next, harys bisa lebih cermat lagi
Saya juga termasuk yang suka gemes sama orang yang suka share berita ga cek recheck kebenaran nya dulu. Moga banyak yang baca artikel ini ya mbak. Penting nih buat edukasi masyarakat